Selamat Datang di Cafebahasa: Blog informasi dan tutorial Psikologi. Jangan lupa isikan Komentar Anda demi perbaikan ke depan serta kirimkan artikel Anda untuk diposting, ke email:bbg_cla@yahoo.com

Kamis, 04 April 2013

Sekolah perlu Psikologi


Penulis: Siti Mugi Rahayu
Dunia pendidikan kita sebenarnya sudah mengenal istilah psikolog, karena banyak sekolah sudah menerapkan psikotes. Psikotes yang dimaksud adalah untuk mengetahui tingkat kematangan peserta didik, kesiapan mentalnya untuk belajar, bidang-bidang kecerdasan-kecerdasan yang dimiliki peserta didik, hingga berapa nilai IQ peserta didik. Setelah tes, psikolog tak lagi diperlukan. Kalau kita melihat isi sekolah secara menyeluruh, justru sekolah adalah tempatnya segala masalah terjadi. Dari siswa pra sekolah, TK, SD, SMP, SMA hingga perguruan tinggi, mereka merupakan pribadi yang sebenarnya harus disentuh secara individual. Mengapa begitu ? Semua guru dan orang tua sudah banyak yang memahami bahwa setiap anak adalah unik. Unik adalah sebutan bagi perbedaan yang terjadi antara anak yang satu dengan yang lain. Unik menyangkut juga perbedaan perlakuan akan kebutuhan anak yang juga berbeda. Berdasarkan tingkatan usia, anak-anak sekolah dalam jenjang pendidikan terendah sampai terkecil tidak selamanya memiliki perilaku yang wajar dan normal.

Dengan demikian, tidak selamanya semua anak harus diperlakukan sama. Mereka punya kebutuhan dan pendekatan yang berbeda dalam penanganannya. Ketika Rahul (bukan nama sebenarnya), 5 tahun, masuk TK kecil, dia sangat aktif dan tidak bisa diam. Seisi kelas diganggunya. Hampir setiap hari orang tuanya mendapat pengaduan dan protes dari para orang tua yang lain perihal perilaku negatif anaknya ini. Lama-lama, ketika Rahul masuk sekolah dasar, kepala sekolah memintanya untuk pindah. Ketika datang ke seorang psikolog, psikolog tersebut memberikan penjelasan bahwasanya sekolah tidak boleh langsung mengeluarkan siswa tanpa memberikan terapi dan pendampingan di kelas. Beberapa orang tua menganggap anak ini mungkin harus masuk sekolah inklusi, namun di Indonesia hal ini tidak lazim karena sekolah seperti ini tidak banyak dan memerlukan biaya besar. Ada memang, sekolah negeri yang berlabel sekolah inklusi, namun biaya pendampingan untuk siswa bisa mencapai Rp 2 juta rupiah. Sebuah nominal yang sangat tinggi untuk kebanyakan orang. Dari penjelasan psikolog tersebut, sang ibu baru mengerti bahwasanya sekolah seharusnya punya psikolog. Akhirnya, kemanapun anaknya akan sekolah, yang pertama dia tanyakan adalah : Ada psikolognya tidak ?
Sekolah sebenarnya punya guru Bimbingan Konseling (BK), namun perbandingan jumlah guru BK dan jumlah siswa sangat tidak sesuai. Bayangkan saja 1 orang guru BK harus melayani 150 hingga 225 orang siswa. Jumlah siswa yang fantastik ini tidak memungkinkan guru BK dapat melayani siswa dengan lebih baik satu per satu. Lagi pula, tingkat keilmuannya berbeda antara guru BK dengan psikolog. Mengapa guru BK tidak bisa melakukan psikotes pada siswa pada saat masuk sekolah seperti yang dilakukan psikolog ? Ini menunjukkan Guru BK berbeda dengan psikolog.
Psikolog sekolah bisa memahami masalah siswa yang terkait dengan perkembangan mereka dan gangguan-gangguannya. Kehadiran psikolog diharapkan mampu meminimalisir permasalahan psikologi anak sejak dini. Psikolog dapat membantu sekolah dan orangtua lebih memahami kondisi keseluruhan yang ada dalam diri siswa. Membantu kesulitan-kesulitan belajarnya, juga membantu menemukan potensi yang ada pada anak-anak.

Sumber: http://guraru.org/guru-berbagi/sekolah-perlu-psikolog

Tidak ada komentar:

Posting Komentar