Penulis: Siti Mugi Rahayu
Dunia pendidikan kita
sebenarnya sudah mengenal istilah psikolog, karena banyak sekolah sudah
menerapkan psikotes. Psikotes yang dimaksud adalah untuk mengetahui tingkat
kematangan peserta didik, kesiapan mentalnya untuk belajar, bidang-bidang
kecerdasan-kecerdasan yang dimiliki peserta didik, hingga berapa nilai IQ
peserta didik. Setelah tes, psikolog tak lagi diperlukan. Kalau kita melihat
isi sekolah secara menyeluruh, justru sekolah adalah tempatnya segala masalah
terjadi. Dari siswa pra sekolah, TK, SD, SMP, SMA hingga perguruan tinggi,
mereka merupakan pribadi yang sebenarnya harus disentuh secara individual.
Mengapa begitu ? Semua guru dan orang tua sudah banyak yang memahami bahwa
setiap anak adalah unik. Unik adalah sebutan bagi perbedaan yang terjadi antara
anak yang satu dengan yang lain. Unik menyangkut juga perbedaan perlakuan akan
kebutuhan anak yang juga berbeda. Berdasarkan tingkatan usia, anak-anak sekolah
dalam jenjang pendidikan terendah sampai terkecil tidak selamanya memiliki
perilaku yang wajar dan normal.
Dengan demikian, tidak
selamanya semua anak harus diperlakukan sama. Mereka punya kebutuhan dan
pendekatan yang berbeda dalam penanganannya. Ketika Rahul (bukan nama
sebenarnya), 5 tahun, masuk TK kecil, dia sangat aktif dan tidak bisa diam.
Seisi kelas diganggunya. Hampir setiap hari orang tuanya mendapat pengaduan dan
protes dari para orang tua yang lain perihal perilaku negatif anaknya ini.
Lama-lama, ketika Rahul masuk sekolah dasar, kepala sekolah memintanya untuk
pindah. Ketika datang ke seorang psikolog, psikolog tersebut memberikan
penjelasan bahwasanya sekolah tidak boleh langsung mengeluarkan siswa tanpa
memberikan terapi dan pendampingan di kelas. Beberapa orang tua menganggap anak
ini mungkin harus masuk sekolah inklusi, namun di Indonesia hal ini tidak lazim
karena sekolah seperti ini tidak banyak dan memerlukan biaya besar. Ada memang,
sekolah negeri yang berlabel sekolah inklusi, namun biaya pendampingan untuk
siswa bisa mencapai Rp 2 juta rupiah. Sebuah nominal yang sangat tinggi untuk
kebanyakan orang. Dari penjelasan psikolog tersebut, sang ibu baru mengerti
bahwasanya sekolah seharusnya punya psikolog. Akhirnya, kemanapun anaknya akan
sekolah, yang pertama dia tanyakan adalah : Ada psikolognya tidak ?
Sekolah sebenarnya punya guru
Bimbingan Konseling (BK), namun perbandingan jumlah guru BK dan jumlah siswa
sangat tidak sesuai. Bayangkan saja 1 orang guru BK harus melayani 150 hingga
225 orang siswa. Jumlah siswa yang fantastik ini tidak memungkinkan guru BK
dapat melayani siswa dengan lebih baik satu per satu. Lagi pula, tingkat
keilmuannya berbeda antara guru BK dengan psikolog. Mengapa guru BK tidak bisa
melakukan psikotes pada siswa pada saat masuk sekolah seperti yang dilakukan
psikolog ? Ini menunjukkan Guru BK berbeda dengan psikolog.
Psikolog sekolah bisa memahami
masalah siswa yang terkait dengan perkembangan mereka dan gangguan-gangguannya.
Kehadiran psikolog diharapkan mampu meminimalisir permasalahan psikologi anak
sejak dini. Psikolog dapat membantu sekolah dan orangtua lebih memahami kondisi
keseluruhan yang ada dalam diri siswa. Membantu kesulitan-kesulitan belajarnya,
juga membantu menemukan potensi yang ada pada anak-anak.
Sumber: http://guraru.org/guru-berbagi/sekolah-perlu-psikolog
Tidak ada komentar:
Posting Komentar